Maret Samuel Sueken dalam Proyek Offshore di Provinsi Songkhla - Thailand tahun 2007 saat memimpin pengerjan Proyek PTTEP Thailand, QPS, PPS and WPS Bongkot South Phase 4 Project sebagai Commissioning Manager dan Site Representative dari Indonesia
"Mafia Minyak Kembali Beraksi: Proyek Triliunan Rupiah Pertamina Harus Diaudit Total"
Reformasi Energi dan Ancaman Mafia Minyak
Pada 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo berhasil membubarkan Pertamina Trading Energy Ltd. (Petral) sebagai bagian dari reformasi sektor energi dan upaya meningkatkan transparansi impor minyak. Petral, anak usaha Pertamina berbasis di Singapura, kerap dikaitkan dengan praktik percaloan yang membuka celah korupsi dalam pengadaan minyak Indonesia.
Setelah pembubarannya, pengadaan minyak mentah dan BBM dialihkan ke Integrated Supply Chain (ISC), unit khusus Pertamina yang bertugas melakukan impor secara lebih transparan dan efisien. Namun, di era pemerintahan Prabowo, ISC kembali tersandung dugaan praktik mafia minyak. Kejaksaan Agung (Kejagung) saat ini tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi dalam pengadaan minyak oleh ISC, yang diduga melibatkan jaringan mafia lama yang masih bercokol di industri energi.
Nama Riza Chalid, sosok yang dulu dikaitkan dengan skandal Petral, kembali muncul dalam dugaan kasus ini. Ia dikenal sebagai pemain besar dalam bisnis impor minyak, terutama sebelum Petral dibubarkan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa mafia minyak tidak pernah benar-benar hilang, hanya berganti wajah dan semakin menggurita.
Ancaman Korupsi dalam Proyek-Proyek Raksasa Pertamina
Selain isu mafia minyak, Pertamina saat ini mengelola proyek strategis bernilai ribuan triliun rupiah di sektor kilang, petrokimia, dan energi hijau. Proyek-proyek ini memiliki potensi besar bagi pembangunan ekonomi, namun juga berisiko tinggi terhadap praktik penyimpangan dan korupsi. Beberapa proyek utama meliputi:
- Refinery Development Master Plan (RDMP) – Peningkatan kapasitas dan kualitas kilang dengan nilai USD 48 miliar.
- Grass Root Refinery (GRR) Tuban – Pembangunan kilang baru senilai USD 14 miliar.
- Proyek Gasifikasi Batu Bara & LNG – Konversi batu bara menjadi DME sebagai pengganti LPG dengan nilai USD 2,1 miliar.
- Pengembangan Energi Hijau – Termasuk Green Refinery Cilacap & Plaju, PLTS, serta Hydrogen & Carbon Capture Storage (CCS).
- Proyek Petrokimia – Termasuk Kilang Petrokimia Tuban (USD 3,5 miliar) dan kemitraan dengan Chandra Asri.
Total nilai proyek-proyek strategis Pertamina mencapai lebih dari USD 70 miliar atau sekitar Rp 1.100 triliun. Dengan skala sebesar ini, transparansi dan pengawasan ketat menjadi keharusan agar proyek tidak menjadi ladang subur bagi mafia dan koruptor.
Tantangan bagi Pemerintahan Prabowo
Meskipun ISC dibentuk untuk meningkatkan transparansi, fakta bahwa mafia minyak masih beroperasi menunjukkan adanya kelemahan dalam manajemen internal Pertamina. Dugaan praktik korupsi ini tidak hanya terjadi di tingkat pimpinan, tetapi juga di anak dan cucu perusahaan, termasuk para project manager yang mengelola proyek-proyek strategis.
Untuk itu, Kejaksaan Agung diharapkan tidak hanya membidik kasus mafia minyak, tetapi juga mengawasi proyek-proyek raksasa Pertamina. Aparat penegak hukum lain, seperti Kepolisian dan KPK, harus ikut aktif dalam pengusutan ini, bukan malah diam seribu bahasa.
Reformasi total di tubuh Pertamina menjadi langkah mendesak. Pemerintah harus berani menempatkan profesional dengan rekam jejak bersih di sektor minyak dan gas, termasuk dari perusahaan EPC swasta, baik asing maupun dalam negeri. Jika tidak, maka pemerintahan Prabowo akan menghadapi risiko besar gagal mengatasi mafia minyak yang semakin kuat dan mengakar.
Kesimpulan
Mafia minyak bukan sekadar bayang-bayang masa lalu, tetapi ancaman nyata yang terus menggerogoti sektor energi nasional. Keberanian dan ketegasan dalam memberantas jaringan korupsi di Pertamina akan menjadi ujian besar bagi pemerintahan saat ini. Jika tidak ditangani serius, bukan hanya keuangan negara yang dirugikan, tetapi juga masa depan energi Indonesia.
0Komentar