Jika Tak Datang
Jalan Ini Terbiarkan
Pemandangan jalan dari simpang Katarina menuju pintu tol, Kota Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, bukan hanya sekadar gambaran fisik, melainkan simbol nyata dari ketidakadilan infrastruktur. Ironisnya, perbaikan jalan tampaknya bergantung pada kunjungan pejabat tinggi. Seperti yang dikatakan Mimii Alink, "Kalau tak datang presiden, tak diperbaiki jalannya," yang menyoroti betapa pemerintah hanya memedulikan rute yang dilalui oleh mereka. Ini bukan sekadar tawa; ini adalah cerminan frustrasi mendalam dari warga yang merasa diabaikan.
Lebih jauh lagi, pertanyaan mendasar muncul: mengapa masyarakat harus menunggu momen yang dipilih pemerintah untuk mendapatkan fasilitas yang layak? Jalan menuju rumah Pak Sukatmin yang terabaikan hanya karena tak dilalui presiden menunjukkan bahwa sistem perencanaan infrastruktur kita perlu dievaluasi. Ini adalah jalan yang menghubungkan kehidupan sehari-hari, bukan sekadar jalur kendaraan resmi.
Kenyamanan dan keadilan adalah hak setiap masyarakat. Jalan yang baik seharusnya bukan hanya untuk para pejabat, tetapi untuk semua warga. Jika kondisi ini dibiarkan, kita tak hanya melihat jalan yang rusak, tetapi juga menyaksikan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Apakah kita rela membiarkan keadaan ini terus berlangsung?
Saatnya untuk mengubah paradigma. Setiap jalan, di mana pun itu, harus mendapatkan perhatian dan perbaikan yang layak. Masyarakat berhak untuk dilihat dan didengar, bukan hanya saat presiden datang. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam siklus pengabaian, menunggu perubahan yang mungkin tidak akan pernah datang.
Dan teramat banyak lagi yang lebih terlantar dan terbiarkan.
0Komentar